Hadirlah untuk Anakmu! Bukan Meyalahkan Gadget

Ilustrasi
banner 120x600

Lensa JurnalWaktu tak bisa diulang. Begitu juga tumbuh kembang anak. Kalimat itulah yang terpatri dalam hati dan benak Intan (30) saat pertama kali harus menemani anak semata wayangnya, Senja menjalani terapi tumbuh kembang. Saat itu, usia Senja baru lewat 15 bulan.

Jelang usia 16 bulan, Senja belum juga babbling alias mengoceh yang jadi fase awal perkembangan bahasa pada bayi.

Berdasarkan sejumlah tes dari dokter spesialis anak dan klinik tumbuh kembang di Jakarta dan Yogyakarta, Senja didiagnosis mengalami speech delay atau keterlambatan bicara dan ADHD inattentive.

Intan mengaku sangat sedih dan hancur saat pertama kali melihat anaknya melakukan serangkaian terapi di klinik. Bagaimana tidak, setiap kali melakukan terapi, setiap kali itu pula Senja menangis.

Namun ia harus “tega” demi Senja bisa tumbuh sesuai milestone-nya.

“Ini konsekuensi yang harus kamu terima karena mungkin skip-nya aku sebagai ibu, karena memang waktuku enggak banyak memberikan kamu stimulus dari kamu lahir,” kata Intan saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Senin (22/7).

Intan adalah seorang jurnalis di salah satu kantor berita nasional di Jakarta. Pekerjaan Intan sebagai wartawan sering kali mengharuskannya pulang larut, karena itu ia harus berbagi peran pengasuhan dengan mertua.

Selama diasuh mertua saat ia bekerja, tak ada yang mencurigakan dari pertumbuhan Senja. Senja tumbuh sehat dengan gizi yang tercukupi, namun tak dimungkiri belum mengoceh seperti anak seusianya.

Intan mulai curiga anaknya speech delay usai dokter belum juga memberikan vaksin MMR dengan alasan Senja belum babbling di usia 15 bulan. Selain itu, Senja juga sering tantrum karena kesulitan mengutarakan keinginannya.

Singkat cerita, ia membawa Senja ke klinik tumbuh kembang di Yogyakarta lantaran antrean panjang di klinik Jakarta. Intan memilih Yogyakarta karena di sanalah kampung halaman orang tuanya.

Dari sejumlah saran dokter dan assessment, Senja disarankan untuk menjalani terapi okupansi, wicara, dan sensori, serta diresepkan sejumlah menu makanan untuk mengejar ketertinggalan perkembangannya.

Menurut Intan, ada banyak faktor yang menyebabkan kondisi Senja. Apalagi, saat itu dunia baru saja dihadapkan dengan pandemi Covid-19.

Baca selengkapnya di cnnindonesia.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *